*Cerita ini terinspirasi dari
video klip BoA, Key Of Heart*
Aku memainkan piano di
depanku dengan tenang. Zona-teman satu bandku-terlihat sedang sibuk menulis
sesuatu. Aku melirik lagi ke arah Adris. Dia sedang membereskan buku-bukunya.
Kulihat dia menghampiri Zona.
“ Hey, aku pulang dulu ya!” ucapnya. Zona terlihat terkejut karena Adris
memukul bahunya pelan.
“ Eh, iya...” jawab Zona. Adris pun berjalan pergi dari ruang musik. Ah, ini
kesempatanku!
Aku menghentikan permainan pianoku. Sepertinya Zona belum sadar. Perlahan, aku
berjalan menghampirinya dan mengejutkannya.
“ Hey.” Panggilku pelan. Dia tersentak dan mendongak melihatku. Dia tersenyum,
lalu dengan cepat menyembunyikan kertas partitur yang sedang ditulisnya. “ Apa
itu?” tanyaku sambil berusaha mengintip, namun Zona segera mengelak.
“ Ti, tidak...” ucapnya dengan senyum yang manis. Aku menyukai senyumnya...
“ Dasar pelit.” Ucapku, lalu aku kembali ke depan pianoku. Aku kembali
memainkannya, sambil sesekali kulirik Zona yang perlahan berbaring di atas
sofa. Kulihat dia memejamkan matanya. Apa dia tidur?
Aku berhenti memainkan piano, lalu kembali melihat Zona. Dia tidak membuka
matanya. Artinya dia benar-benar tidur!
Dengan cepat aku mengambil kertas partitur yang dia letakkan di atas tubuhnya,
lalu aku membaca kertas itu. Wah, keren! Zona bisa membuat lagu? Aku tidak
percaya... Baiklah! Aku mainkan saja!
Aku meletakkan kertas itu di tempat khusus di pianoku (author: kagak tau
namanya apa), lalu mulai membacanya. Key Of Heart.
“ I don’t know the reason why
I could not find the words to get you back
And I turn my back to you going out
I don’t want lose your love in fact...”
Senyumku mengembang. Aku menyukai lagu Zona, dan aku... menyukai orangnya...
+++
Aku membuka mataku saat
mendengar Monia memainkan piano. Ah, dia memainkan lagu yang kubuat. Aku
mendengar suara khasnya lagi. Wajahnya yang cantik tidak pernah membuatku bosan
untuk melihatnya. Dia memang... orang yang kusukai.
Senyum mengembang di wajahnya. Ah, Monia... Tidak taukah kalau kamu terlihat
sangat cantik jika tersenyum?
+++
“ Zona, bangun! Sudah jam 5, tau!” ucapku panik ketika aku melihat jam. Zona
membuka matanya, lalu dia menguap lebar di depanku.
“ Huaaaahhhh........”
“ BUKAN SAATNYA MENGUAP, TAU! JAM SUDAH MENUNJUKKAN PUKUL 5!” teriakku emosi.
Dia melihat jam, lalu dengan santainya dia menyandang tasnya.
“ Monia.” Panggilnya. Aku menoleh dengan malas.
“ Apa?” tanyaku. Dia mendongak melihat langit di luar jendela.
“ Temani aku sebentar.”
Eh?
+++
Aku mengajak Monia ke tempat pertenakan kuda. Udara disini segar sekali! Hm, tempat
ini memang peternakan kuda, tapi tidak ada yang memakainya. Entah kenapa.
Padahal rumputnya sangat hijau, bahkan pepohonannya rimbun. Tapi biarlah. Aku
harus menjalankan rencanaku yang sudah kupikirkan sejak dulu.
“ Monia, lihat disana ada kuda!” ucapku sambil menunjuk ke arah belakangnya.
Dia menoleh ke belakang, dan aku segera mengeluarkan sebuah kalung yang memang
sengaja kubeli untuk kami berdua. Satu sudah kupakai, dan satu untuknya.
“ Mana? Tidak ada kok...” ucapnya. Aku menjentikkan jariku, membuat dia reflek
menoleh ke arahku. Matanya terbelalak melihat kalung yang kupegang itu. Aku
meletakkan kalung itu di tangannya. “ Zona, ini bagus sekali! Aku suka...”
jawabnya polos. Aku tertawa, lalu menunjukkan kalung yang telah kupakai. “ Eh?
Ada pasangannya juga? Em... apa artinya ini?” tanyanya pelan.
Aku mengambil kalung itu lalu memakaikannya ke leher Monia. Lalu, aku
menggenggam tangannya. Dia terlihat salah tingkah.
“ Mulai sekarang, kamu adalah pacarku!”
+++
“ Mulai sekarang, kamu adalah pacarku!”
Apa?! Apa yang dia bilang?! Aku tidak salah dengar??
“ A, a, apa?” tanyaku tergagap. Zona tersenyum lagi. Oh Tuhan, dia semakin
tampan... Jantungku berdetak cepat, semakin lama semakin cepat saat aku
mendengar suaranya.
“ Aku mencintaimu, Monia... Aku tidak ingin ada orang lain di hatimu, aku ingin
hanya ada aku!” ucapnya tegas. Zona menyatakan cinta padaku?! A, apa yang harus
kujawab?
“ A, aku... aku...” ucapku tergagap. Zona menatapku dengan tatapan memelas.
Tidak taukah dia kalau aku juga mencintainya? Apa kurang jelas sikapku selama
ini?
Tiba-tiba Zona melepaskan genggamannya dari tanganku. Aku terkejut. Ada apa
dengannya?
“ Aku kira aku sudah tau jawabannya.” Ucapnya pelan. “ Maaf.”
Dia berjalan pergi meninggalkanku. Tung, tunggu, Zona! A, aku...
“ Aku juga mencintaimu!” teriakku, dan sedetik kemudian aku menutup mulutku.
Langkah Zona terhenti, lalu dia menoleh ke arahku dan menatapku tidak percaya.
Tak lama kemudian, dia berari ke arahku dan memelukku erat.
“ Ayo, kita pulang.” Ucapnya pelan, namun aku tau dia sangat senang. Senyum
merekah di wajahnya. Dia menggenggam tanganku dan menuntunku pulang. Zona...
terima kasih...
3 tahun kemudian...
Disinilah aku, terkenal sebagai seorang penyanyi. Aku akan mengadakan konser
tunggal pertamaku. Jantungku berdetak cepat, karena aku benar-benar nervous.
“ Monia, jangan gugup seperti itu. Ingatlah, ini panggungmu sendiri! Kamu akan
bersinar hari ini!” ucap manajerku, Laiza. Aku hanya tersenyum, lalu menatap
cermin di depanku. Aku gelisah, sekarang bukan karena konserku.
Zona, dimana dia...?
+++
Aku membuka pintu rumahku, lalu segera berlari ke arah motorku yang terparkir
di depan halaman. Aku mencium wangi bunga yang sengaja kusiapkan untuk Monia.
Ah, bagaimana dia sekarang? Apa dia gugup? Haha, aku bisa membayangkan
wajahnya.
Aku mengikatkan bunga itu di bagian depan motorku, lalu aku naik ke atasnya dan
mulai melajukan motorku.
+++
Zona masih belum datang juga... Dimana dia? Aku benar-benar takut sekarang...
Zona, cepatlah datang...
+++
Aku melajukan motorku cepat. Jam sudah menunjukkan pukul 7 kurang, sedangkan
konsernya dimulai pukul 7. Monia, tunggu aku... Tunggu aku sebentar...
+++
“ Nona Monia, sudah waktunya anda ke panggung.” Ucap salah satu staf padaku.
Aku mengangguk, lalu staf itu berjalan keluar dari ruanganku. Aku menghela
nafas. Tanganku menggenggam kalung pemberian Zona.
Zona, lihatlah konserku...
+++
Aku melajukan motorku secepat yang aku bisa. Sesekali aku melirik jam tanganku.
Pukul 7 lewat. Monia, sabarlah... Aku pasti datang...
+++
“ Kamu pasti bisa, Monia. Zona pasti datang!” ucap Laiza mendukungku. Aku
mengangguk, lalu berjalan keluar dari ruanganku. Aku mengikuti staf berjalan ke
belakang panggung, lalu aku menghela nafas.
Zona, semua ini kulakukan untukmu...
+++
Tuhan, aku tidak ingin terlambat. Kumohon, berikanlah aku kesempatan untuk
bertemu Monia...
Aku melihat jam di tanganku. Jam setengah 8. Aku benar-benar terlambat!
Tanpa kusadari, lampu lalu lintas di tempatku berubah berwarna merah. Aku terbelalak
melihat sebuah mobil berjalan dari arah kananku. Aku tidak sempat menghentikan
motorku. Tidak, Tuhan... Aku harus bertemu...
BRUAK!!
Hal terakhir yang kuingat adalah, motorku menabrak sisi kiri mobil itu. Aku
terlempar jauh dan terhempas ke atas aspal dengan helmku yang terbuka. Motorku
terbakar, dan mobil itu pun ikut terbakar. Tanganku menggenggam bunga yang
harus kubawa ke tempat Monia. Sirene ambulans pun terdengar, bersamaan dengan
mataku yang tertutup. Gelap.
+++
Zona jahat... Dia tidak datang sama sekali... Dia jahat...
“ Monia, kita harus segera pergi ke Paris! Jadwal kita ketat, Monia...” ucap
manajerku. Aku menyeka air mataku, lalu aku mengangguk. Maafkan aku, Zona...
Aku harus pergi...
+++
Seorang laki-laki berjalan memasuki sebuah ruangan. Dia melihat seorang pemuda
masih terbaring lemah di tempat tidur. Pemuda itu dia selamatkan dari sebuah kecelakaan.
Seluruh wajahnya hancur, sehingga dia terpaksa mengoperasi plastikkan pemuda
itu.
+++
Aku terbangun dari tidurku. Ugh, dimana aku? Apa yang terjadi padaku? Terakhir
kali yang kuingat adalah... astaga, Monia!! Dimana Monia?! Aku harus segera
menemuinya!
Aku berangkat dari tempat tidur dan berlari keluar, namun sebelum itu aku
menoleh sekilas ke arah kaca. Langkahku terhenti. Aku menoleh ke kaca itu dan
mataku terbelalak. Tidak, ini bukan wajahku! Ke, kenapa bisa seperti ini?!
Kalau wajahku seperti ini... bagaimana aku bisa bertemu dengan Monia?! Tidak,
tidak!!
Lututku melemas. Aku jatuh
terduduk di atas lantai. Air mataku turun, aku menangis. Tanganku merogoh saku
celanaku dan aku merasakan suatu benda. Aku mengambilnya keluar dan ternyata
itu adalah kameraku. Dulu, aku pernah mengambil foto Monia di kamera itu. Foto
saat aku menyatakan rasa cintaku padanya. Monia... Monia......
+++
Pengawal pribadiku membuka pintu mobil untukku. Teriakan para fans terdengar.
Aku pun melangkah turun dari mobil dan berjalan di karpet merah itu. Aku
sedikit mengangkat tangan saat jutaan blitz kamera menghujaniku. Apakah
aku senang? Tidak. Aku hampa. Aku hampa tanpa Zona...
+++
Aku mengambil jarak jauh dari fans. Aku sengaja, karena aku tidak dapat bertemu
dengan Monia dalam keadaan seperti ini. Apa dia akan mengenaliku dengan wajah
seperti ini?
Mataku teralih ke sesuatu di lehernya. Itu... kalung dariku?
Air mataku menetes. Perasaanku bercampur aduk antara sedih, bahagia, dan
terharu. Monia, apa kamu masih menungguku?
Kamar Zona
Aku mengumpulkan berbagai foto Monia di internet, lalu memasukkannya ke dalam
kameraku. Aku tersenyum, miris melihat keadaanku seperti ini. Kenapa cintaku
dan Monia tidak dapat bersatu?
Aku melihat Monia berdiri dengan anggunnya di sebuah acara. Aku tersenyum
melihatnya, namun senyumku berubah saat melihat dia melambai ke arah seseorang.
Aku melihat seorang laki-laki masuk dan berdiri di sebelahnya. Monia
menggenggam tangan laki-laki itu, dan dia tersenyum bahagia.
Tuhan, apa salahku sehingga Engkau memberiku cobaan seperti ini?
Aku terduduk lemas di kamarku. Di belakangku terdapat beribu foto Monia yang
telah kuprint dan kutempel. Apa yang harus kulakukan sekarang?
Aku terus mengikuti Monia
sampai aku diizinkan untuk masuk ke dalam tempat konsernya dan melihat dia
berlatih bernyanyi dan menari. Aku melihat dia menyanyi dengan sepenuh hati,
membuatku semakin cinta padanya. Namun percuma, rasa ini tidak akan
tersampaikan. Tanganku terus mengambil foto Monia dengan kameraku.
Tiba-tiba lampu panggung di atas Monia mengeluarkan api. Aku terkejut
melihatnya. Reflek, aku berlari ke atas panggung.
+++
Saat aku sedang berlatih, tiba-tiba lampu panggung di atasku mengeluarkan api.
Aku berteriak ketakutan, dan reflek melindungi kepalaku. Tiba-tiba, aku merasa
seseorang mendorongku hingga kami berdua jatuh ke bawah panggung. Aku mendengar
suara lampu itu jatuh.
Aku membuka mataku, dan aku melihat seorang laki-laki sekarang sedang
menatapku. Dia terlihat salah tingkah dan segera mengalihkan pandangannya. Aku
melihat sesuatu terjatuh dari sakunya. Aku mengambil benda itu dan ternyata itu
adalah sebuah kamera. Tunggu, banyak sekali fotoku di kamera itu! Aku menoleh
ke arah laki-laki itu dan dia semakin salah tingkah.
“ Monia?! Kamu tidak apa-apa?!” teriak Laiza dari atas panggung. Aku mendongak
menatapnya dan juga laki-laki itu. Kami tidak mengucapkan apa pun. Hanya diam.
+++
Aku berjalan keluar dari tempat itu. Tanpa sengaja, aku berpapasan dengan
Monia. Kami berdua berhenti sejenak. Aku melihat kelehernya dan dia masih
mengenakan kalung itu. Tanpa terasa, air mataku keluar. Aku segera berjalan
pergi meninggalkannya.
+++
Laki-laki itu menangis, lalu dia berjalan pergi meninggalkanku. Aku berniat
mengembalikan kameranya, namun niat itu aku urungkan karena aku masih ingin
melihat fotoku di kamerenya. Tiba-tiba, mataku terbelalak melihat fotoku saat
dulu. Fotoku dan Zona. Seketika ingatanku tentang dulu kembali. Mataku
menelusuri gantungan kamera itu dan kembali aku terbelalak, karena gantungan
itu sama dengan bandul kalungku. Jangan-jangan, laki-laki itu adalah...
Aku menggenggam bandul kalungku, lalu aku berbalik dan berusaha mengejar Zona,
namun pengawalku menghalangiku untuk bergerak. Aku berusaha memberontak, namun
mereka menahanku kuat. Aku melihat laki-laki itu semakin menjauh. Tidak, jangan
tinggalkan aku, Zona...
“ ZONA!!!” teriakku kuat. Laki-laki itu berhenti sejenak, namun akhirnya dia
terus melanjutkan langkahnya. Air mataku mengalir, dan aku kembali berteriak. “
ZONA!! JANGAN PERGI LAGI DARIKU!!”
Langkahnya kembali
terhenti, dan aku melihat dia berbalik ke arahku dan berlari menujuku. Aku
menepis tangan pengawalku dan berlari ke arahnya. Dia langsung memelukku erat.
“ Monia... Kamu masih mengingatku...?” tanyanya pelan. Aku mengangguk.
“ Hanya kamu satu-satunya orang yang kucintai, Zona... Hanya kamu...” jawabku.
Aku terisak di pelukannya, dan dia semakin memelukku erat.
“ Aku merindukanmu...” ucapnya.
“ Aku juga... Jangan pergi lagi dariku...” ucapku pelan. Dia mengangguk.
“ Aku berjanji. Dan setelah ini, kita akan menikah secepat mungkin!”
“ Apa?!”
The End
0 comments:
Post a Comment